Dilahirkan
di Ulee-lee, Banda Aceh pada 17 Juli 1899 dari seorang Panglima (kepala daerah)
Sagi XXVI Mukim, Teuku Nyak Banta dan ibunya bernama Cut Nyak Rayeuh. Lulus
dari OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Banten pada tahun
1915, ia memang disiapkan sebagai pegawai pamongpraja atau Panglima untuk
menggantikan ayahnya. Teuku Nyak Arif adalah sosok yang berwatak keras, berani,
dan cerdas. Ia sangatlah membenci Belanda karena membawa kesengsaraan rakyat
Aceh. Kebenciannya kepada Belanda inilah yang menyebabkan ia bersikap melawan.
Dimulai dari tidak mau menerima tunjangan yang disediakan pemerintah untuk
anak-anak Aceh yang belajar di luar Aceh. Bahkan ketika di sekolah pun ia tidak
mau tunduk kepada perintah gurunya.
Nyak
Arif adalah seorang nasionalis Indonesia yang mengkuti faham nasionalisme NIP
(Nederlandsh Indische Partij) pimpinan tiga serangkai. Sebagai Panglima Sagi
XXVII, ia menjalankan peraturan pemerintah dengan kebijaksanaan dan
memperhatikan kepentingan rakyat. Kebijaksanaannya didukung oleh kecakapannya
mempertemukan dan menurunkan golongan muda dan tua serta golongan ulama dan
bangsawan. Selain mempunyai pengaruh
besar terhadap masyarakat dan termasuk orang yang terkemuka, ia juga mempunyai
kecakapan dan keberanian dalam menghadapi pembesar-pembesar Belanda. Dan ucapannya
yang selalu ia katakan kepada lawannya dan pemerintah.
“Orang
yang sopan tidak akan mencoba menekan hak rakyat” (Kamajaya, 1981)
Meskipun
ia adalah seorang yang berwatak tegas dan keras, ia selalu menghindari
pertempuran terutama sesama kita rakyat Indonesia. Bahkan ia ikhlas berkorban,
yaitu kedudukan dan pangkatnya untuk mencegah pertempuran yang akan berakibat
parah untuk kesatuan dan persatuan rakyat, sebab revolusi belum selesai dan
rakyat harus tetap bersatu dalam segala kemungkinan. (kamajaya, 1981).
Teuku
Nyak Arif, pemimpin rakyat yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kemerdekaan
bangsa dan negara dengan jasa-jasanya yang besar dan dengan ikhlasnya berkorban.
Ia meninggal pada 26 April 1946 di Takengon dan dikebumikan di makam
keluarganya di Lam Nyong. Ia meninggal karena penyakit gula yang semakin parah
setelah ditangkap secara baik dan terhormat oleh dua orang anggota TPR. Dan
sebelum hayatnya berakhir ia berpesan kepada keluarganya.
“Jangan
menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus diletakkan diatas
segala-galanya.” (Kamajaya, 1981)
SEMOGA BERMANFAAT..
Komentar
Posting Komentar